Redefinisi Nilai Toleransi Melalui Ritual "Adat Suku Wamesa"
- Septer Ramar
- Mar 13, 2018
- 12 min read
Hidup dalam negara yang besar dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi, mulai dari segi agama, suku, bahasa, kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan lain yang berbeda sering memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu yang sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah menurunya rasa toleransi antar masyarakat yang hidup berdampingan.
Menurut data yang diperoleh mengenai tingkat intoleran di Indonesia dari survei Lembaga Survei Indonesia bersama Wahid Institute tahun 2016. Mereka menemukan bahwa keadaan yang terjadi dapat menjadi ancaman, dari total 1.520 responden terdapat 59,9% yang memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci adalah dari mereka yang memiliki latar belakang non-muslim, Tionghoa, komunis, dan lainnya. Dari jumlah 59,9%, sebanyak 92% yang tidak setuju jika kelompok yang mereka benci menjadi bagian dari pemerintahan seperti pejabat di Indonesia.Sedangkan 82,4% bahkan tidak rela jika tetangga mereka adalah dari anggota yang mereka benci. Disamping itu, terdapat 7,7% orang yang ingin melakukan tindakan radikalisme seperti penyerangan rumah ibadat kelompok agama lain dan melakukan sweeping ditempat-tempat yang dianggap melanggar syariat Islam. Walaupun hanya, 7,7% namun hal ini dapat membahayakan untuk jangka waktu kedepan. Tingginya hasil survei yang diperoleh mengenai intoleran di Indonesia sehingga pentingnya sebuah meredefinisi budaya untuk dapat merubah paradigma dalam menerima perbedaan dan hidup dalam toleransi sebuah bangsa. Dengan menghidupkan kembali nilai-bilai budaya di Nusantara, maka dapat membantu meminimalisir keadaan yang intoleran. Hal ini dilakukan untuk mengikat dalam tali persaudaraan pada bangsa yang masyarakatnya hidup secara berdampingan. Sehingga, kebangsaaan akan muncul dan akan mempermudah masyarakat untuk saling menerima setiap perbedaan latar belakang yang dimiliki oleh masyarakat yang hidup bersama dalam satu negara.
Salah satu budaya yang dapat menjadi pemersatu bangsa adalah budaya pernikahan dari suku Wamesa di Teluk Wondama, Papua Barat dimana ritual pernikahan adat suku Wamesa Papua Barat mempunyai konsep meliputi konsep waktu, ruang pribadi, komunikasi non-verbal, sifat persahabatan dan konsep diri.
Dalam hal ini, konsep ritual didasari pada ritual. Hal ini merupakan kegiatan yang memiliki ciri khas baik dalam segi berpakaian maupun perlengkapan untuk melakukan ritual. Tentunya dalam melakukan ritual, masyarakat atau orang yang memiliki tujuan khusus sehingga diadakan kegiatan ritual. Tujuan yang hendak dicapai adalah mendapatkan berkat dari setiap hal yang dilakukan, kelahiran, pernikahan maupun kematian. Seorang tokoh antropologi yaitu Victor Turner yang meneliti proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika Tengah mengemukakan bahwa ritual atau ritus yang dilakukan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari keyakinan religius. Ritus-ritus yang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk melakukan dan menaati tatanan social tertentu. Ritus-ritus tersebut juga memberikan motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang terdalam. Sedangkan, Situmorang menyimpulkan bahwa pengertian upacara ritual adalah kegiatan yang dilakukan sekelompok orang yang berhubungan terhadap keyakinan dan kepercayaan spiritual dengan suatu tujuan tertentu. Berbeda dengan pendapat dari Koenjaraningrat yang menjelaskan bahwa upacara ritual adalah sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dengan adanya Pemahaman ritual ini yang menyebabkan dimana konsep upacara adat adalah system aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1980:140 dalam Anonim (n.d)).Dalam berbagai upacara yang dilakukan seperti lahiran, pernikahan, sukuranpanen maupun kematian memiliki cara yang berbeda dan disetiap suku memiliki tata cara dalam melakukan upacara adat. Menurut Koentjaraningrat (1980), upacar adat yang dilakukan memiliki berbagai unsur, antara lain:
Tempat berlangsungnya upacara, tempat yang di gunakan untuk melangsungkan suatu upacara biasanya adalah tempat keramatan atau bersifat sacral atau suci, tidak setiap orang dapat mengunjungi tempat tersebut. Tempat tersebut hanya dikunjungi oleh orang-rang yang berkepentingan, dalam hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara seperti pemimpin upacara.
Saat berlangsungnya upacara atau waktu pelaksanaan, waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat untuk melangsungkan upacara.
Benda-benda atau alat upacara, benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang harus ada semacam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam sebuah upacara adat.
Orang-orang yang terlibat didalamnya, orang-orang yang telibat dalam upacara adat adalah mereka yang bertindak sebagai pemimpin jalannya upacara dan beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat (Koentjaraningrat, 1980:241).
RITUAL PERKAWINAN SUKU WAMESA
Melalui keberadaan suku Wamesa ini, tidak dipungkiri bahwa keberadaan mereka mengandung berbagai macam nilai-nilai yang di lihat dari aktivitas mereka. Dalam hal ini aktivitas mereka dalam ruang budaya, ruang budaya mereka meliputi berbagai macam aktivitas yang menggambarkan identitas mereka. Untuk menjadikan pengakuan bahwa budaya mereka dimana beranjak dari istilah keberadaan zaman primitif dimana mereka hanya hidup berdampingan dan melakukan apa yang sering mereka lakukan seperti kebiasaan mereka. Adapun Ritual perkawinan Suku Wamesa yang ada karena kebiasaan,tradisi yang dilihat dengan konsep Iceberg of Culture oleh Lercher. Hal-hal yang menjadi pemicu dalam proses perkawinan adalah keinginan yang terjadi karena Orang tua ingin anaknya hidup dengan bahagia, di samping itu anaknya saling menghargai satu sama lain, dan juga nilai toleransi dengan tujuan mengeratkan persahabatan keluaraga suku, keluarga perbedaan suku melalui perkawinan tersebut. Dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang terjadi sehingga keberadaan tradisi suku Wamesa membuat saling erat melalui nilai-nilai dalam kesukuan yang membentuk indentiats dan nasionalisme mereka.
Dengan adanya proses ritual perkawinan ini menganut nilai kesenian dimana suatu ritual perkawinan masyarakat adat suku Wamesa memiliki berbagai macam tari dan musik.Tari dan musik ini digelar pada upacara adat-adat pada penyambutan tamu dan pada hari-hari besar tertentu. Jenis tarian dan musik yang digunakan antara lain, dansa adat atau bagian dari tradisi yang selalu digelar dalam acara adat, dilakukan dengan iringan nyanyian desertai dengan alat musik, berikut tarian balengan merupakan tarian pergaulan yang biasa di lakukan oleh anak-anak di kampung secara berpasangan-pasangan. Adapun suling bambu yang dimainkan secara kelompok terdiri dari 6 orang. Suling ini menghasilkan suara sopran, alto,tenor dan bass yang di irinngi oleh dua orang yang bermain tifa atau gong. Adanya tradisi yang menghibur diri mereka dengan cara memainkan alat music seperti Tifa, dan gitar, (Ngonggo pita wa,) merupakan kesenian sejenis alat music yang di gunakan untuk menghibur diri. Melalui nilai-nilai seni ini, berbagai macam tradisi Proses perkawinan melalui mas kawin yang dimana adanya penerapan yang terjadi dan berbagai simbol-simbol budaya dari suku Wamesa dapat diperkenalkan. Seperti gelang, manik-manik yang digantung di leher dan baju adat dari suku Wamesa.Dengan adanya simbol-simbol tersebut memiliki arti bahwa mereka mempunyai nilai yang dapat ditukanr dalam proses perkawinan. Sehingga dalam hal proses perkawinan ini di ikuti dengan music tradisional dan tarian tradisional yang mengikat dan menggambarkan keberadaan dan kesatuan suku Wamesa terebut. Dari nila-nilai ini proses perkawinan yang di laksanakan melalui pengantaran mas kawin adalah tahapan di mana menjalakan proses perkawinan secara Hukum Adat. Dalam ritual perkawinan tersebut adanya berbagai macam perjanjian yang dapat di lakukan untuk menunjukan kerajinan tangan mereka, dimana melakukan anyaman noken sebagai symbol indentitas suku Wamesa, dan telah berlangsungnya tradisi makanan tradisionakl dalam menjalakan proses perkawinan- melalui mas kawin, yang dimana pertukaran makan yang di lakukan oleh pihak laki-laki dan pihak perempuan.
MAS KAWIN
Dalam sehari-hari kita mengenal istilah mas kawin atau mahar, istilah tersebut digunakan oleh orang atau masyarakat ketika hendak melangsungkan pernikahan, dimana sebelum perempuan dan laki-laki diikat menjadi satu dalam pernikahan, pihak laki-laki harus membayar mas kawin atau mahar agar dapat memiliki perempuan yang hendak dinikahi secara utuh.
Dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di masyarakat suku Wamesa, Papua Barat memiliki tradisi atau adat yang berlaku ketika hendak melakukan proses pernikahan. Adat ini telah berlaku sejak zaman dulu yang dimana memiliki nilai-nilai, aturan yang timbul dari kebiasaan yang dilakukan secara rutinitas oleh orang tua yang hidup di jaman dulu yang kemudian diatur dalam bentuk hukum adat yang menjadi panutan bagi masyarakat suku Wamesa dalam melakukan proses perkawinan. Ketika proses perkawinan, hal penting yang dilakukan adalah membahas mengenai mas kawin.
Adapun suku Wamesa memiliki benda-benda yang dijadikan sebagai mas kawin untuk meminang seorang perempuan yang dimana mas kawin menjadi alat pembayaran berupa harta yang dimiliki oleh pihak laki-laki yang akan diserahkan kepada keluarga perempuan, benda-benda tersebut adalah piring gantung, piring besar, more-more (guci), gelang, sarak, sapa (paseda), gong, pirng makan, mangkok, pirng sekotol, resa-resa. Benda-benda yang diserahkan berkisar antara 500-600 barang dan diluar dari harga meminang yang berkisar 100-150 barang, barang tersebut harus disiapkan menurut motif atau jenis yang nantinya akan diserahkan kepada orang tua pihak perempuan sebagai tebusan dar pihak laki-laki.
PROSES PENGANTAR MAS KAWIN
Proses pertama yang dilakukan adalah pengantaran bahan makanan dari pihak laki-laki menggunakan perahu sambil melaukan tarian diatas perahu sambil memainkan alat music tifa atau gong menuju lokasi atau rumah dimana makanan yang dibawah akan “dijual” namun dari pihak perempuan juga menyiapkan bahan makanan Pengantaran ini di istilahakan dengan “kasih makan orang tua atau keluarga”. Setelah proses pengantara makanan, masuk pada prosesorang tua dari pihak laki-laki mendatangi orang tua dari pihak perempuan untuk meminta anak perempuan mereka. Setelah mengadakan pembicaraan maka diberi jangka waktu seminggu untuk mengemukakan hasil kedatangan orang tua dari pihak laki-laki, untuk mengambil keputusan (Ya atau tidak) dan apa bilah disetujui maka diberi kurir yang memberitahu bahwa maksud kedatangannya meminta baik dari anak kami diterima. Setelah itu pengaturan waktu untuk mendatangi orang tua dari perempuan itu sekaligus membawa barang berupa piring untuk diberikan kepada orang tua dari perempuan sebagai tanda ikatan bahwa perempuan tersebut sudah di “minang”. Dengan adanya hal ini, kedua bela pihak saling menjaga kedua anaknya agar tidak ada yang berselingkuh, karena apabila ada yang melanggar kesepakatan antara kedua belah pihak (tali ikatan) ini, maka ada hukuman bagi yang melanggar. Hukuman yang diperoleh untuk laki-laki adalah barang yang diberikan sebagai tali ikatan itu dinyatakan hilang dan membayar rasa malu terhadap orang tua perempuan dan apa bila perempuan yang berbuat kesalahan maka barang yang diberikan oleh orang tua laki-laki harus dikembalikan dan membayar rasa malu dari orang tua dari pihak laki-laki
Setelah proses peminangan selesai maka pengaturan waktu tentang pengantaran harta kepada pihak perempuan, pengantaran harta dari adat Wamesa tidak dilakukan seperti pancar atau jalan memakai gitar tetapi hanya dengan menyiapkan harta atau maskawin itu di dalam rumah dan diatur menurut jenis, bentuk dan model barang sesuai apa yang diminta oleh orang tua pihak perempuan dan disaksikan oleh kepala suku adat dari masing – masing (pihak laki-laki dan perempuan) setelah disaksikan pada saat itu juga barang atau harta itu dibawah oleh orang tua dari perempuan dengan menggunakan perahu. Setelah semua ini berakhir maka pengaturan selanjutnya adalah mengatur mengenai hari dan waktu untuk pelaksanaan pernikahan antara kedua bela pihak laki-laki dan perempuan.
NILAI RITUAL ADAT SUKU WAMESA SEBAGAI PENGIKAT LOKALITAS DAN PEMERSATU BANGSA
Dalam proses pengantaran mas kawin yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan memiliki nilai penting yang saling di hargai. Ketika sudah sepakat menerima benda-benda sebagai alat pembayaran terhadap perempuan maka perempuan harus menghargai pihak laki-laki dengan menjaga dirinya untuk tidak melakukan hal-hal diluar batas seperti perselingkuhan. Proses ini merupakan ikatan awal bagi kedua pihak agar bisa menjaga naman baik keluarga maupun nama baik secara pribadi, karena jika melanggar semua aturan yang telah ditetapkan oleh hukum adat maka pihak yang melanggar tersebut akan dikenakan sangsi atau hukuman dan wajib untuk dijalankan. Karena adanya nilai-nilai yang tertanam dalam diri suku Wamesa tersebut, adapun aktivitas mereka yang mengandung keunikan tersendiri. Budaya dari suku Wamesa menjadi tradisi yang mengalami perubahan kontemporer di mana dulunya masyarakat suku Wamesa melakukan kebiasaan mereka seperti meniup Kerang dalam artian mereka bersyukur apabila mereka mendapatkan hasil berburuhan di hutan atau hasil alam yang di laut.
Istilah ini atau tradisi ini mengajarkan bagamna mereka selalu bersyukur ketika mendaptakan sesuatau yang dapat membantu mereka dalam hidup. Masyarakat suku wamesa juga merupakan bagian dari berbagai suku yang kadang memiliki nilai-nilai yang sama, untuk itu dalam hal membuat makanan tradisional seperti papeda. papeda merupakan makanan kas dari suku-suku di papua, dimana papeda menjadi bagian dari hidup masyarakat tradisional suku Wamesa yang bahan pokoknya diambil dari pohon sagu dan tampa ada campur tangan pemerintah mereka melakukannya sendiri bisa dilihat bahwa mereka memiliki istilah adat untuk mengambarkannya yaitu, totok sagu. Dengan berbagai proses totok sagu yang sudah di terapkan oleh Moyang mereka maka hal itu tetap menjdi budaya dan tradisi mereka.
Dalam menganalisis tingkat toleransi yang dapat ditimbulkan melalui budaya adalah dengan menggunakan konsep Iceberg. Icebreg merupakan salah satu konsep dari Lercher dimana Iceberg terbagi atas dua bagian yaitu bagian permukaan dan bagian tersembunyi yang dimana Lercher mencoba menjelaskan jika budaya yang bisanya ditunjukan oleh masyarakat sebagian besar hanya 10% seperti penampakan gunung es dan didalamnya hanya ada kebiasaan, tradisi dan adat istiadat yang dimana mudah diamati dengan sentuhan, bau dan rasa yang didalamnya terdapat makanan, seni, tarian, bahasa, musik, pakaian dan salam yang dimana dapat dipelajar sacara eskplisit, sadar, dapat diperbaharui dan merupakan pengetahuan objektif.
Berbeda dengan bagian tersembuyi yang dimiliki 90% dari masyarakat seperti nilai inti, kepercayaan, prioritas, sikap, asumsi, presepsi yang terbagi lagi dalam hal-hal spesifik seperti cara memandang dunia, keyakinan agama, otoritas, model pengambilan keputusan, peraturan gender, gagasan tentang pengetahuan, kekuatan, konsep keadilan, konsep waktu, ruang pribadi, bahasa tubuh, komunikasi, gagasan tentang kerendahan hati, persahabatan, penunjukan berdasarkan status berdasarkan posisi, kedamaian dalam kerja, berkencan dan praktiknya, kerjasama dan persaingan, cara membesarkan anak dan hal-hal tersebut sulit untuk diperhatikan.
Dilihat dari penjelasan diatas maka penting untuk menggunakan konsep Iceberg dalam melihat bagaimana budaya dan ritual suku Wamesa dapat menimbulkan toleransi dalam masyarakat, pendekatan awal yang dapat digunakan yaitu pada bagian permukaan dimana orang dapat lebih mudah untuk memahami dan mengikuti apa yang menjadi budaya yang dianut dalam masyarakat tersebut dalam hal ini budaya atau ritual yang dimiliki oleh suku wamesa yaitu ritual pernikahan. Banyak hal dan berbagai macam keadaan yang menjadi alasan terjadinya kebencian,pengerusakan oleh tawuran, penyerangan kelompok terhadap suatu kelompok lain, pembakaran rumah ibadah dan sebagainya. Kondisi tersebut menyebabkan semakin meningkatnya kehidupan yang tidak layak sehingga intoleransi semakin kuat sedangkan toleransi semakin tersingkir, hal ini yang kemudian menjadikan budaya sebagai salah satu media penunjang toleransi.
Pada zaman dahulu belum dikenal dengan istilah budaya, kelompok-kelompok atau individu sering melakukan aktivitas mereka yang terjadi secara berulang-ualang tanpa ada kesadaran dalam diri mereka dan kemudian hal itu menjadi sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi aturan yang dikemas dalam sebuah istilah budaya. Demikian pula orang sering menganggab bahwa budaya sebagai karakteristik yang dapat diamati dari kelompok yang dilihat dengan mata kita seperti, kesenian atau ritual dari mereka.
Terfokus pada ritual pernikahan yang dimiliki oleh Suku Wamesa, hal ini merupakan kegiatan yang dilakukan pada zaman moyang dari Suku Wamesa dimana mereka melakukan barter seperti pertukaran barang-barang yang dianggab benar-benar memiki nilai untuk di tukar antara sesama suku dan masyarakat suku Wamesa sebagai tanda saling menghargai, melambangkan kebersamaan suku, saling memahami keberadaan dan perbedaan antara suku, simbol-simbol yang indah sehingga dapat menjadi daya tarik dan barang-barang yang menyakinkan bahwa hal tersebut dapat berguna dan dimanfaatkan. Hal ini menjadi kebiasaan suku Wamesa pada zaman moyang, ketika suku tersebut mengklaim ritual pernikahan harus
dengan mas kawin. Istilah mas kawin membawah perubahan dalam kehidupan mereka. Dengan adanya mas kawin dalam ritual pernikahan orang-orang dari suku tersebut mereka berkaca mata dari kebiasaan yang mereka lakukan yaitu barter barang-barang yang bernilai, sehingga kebiasaan tersebut memicu mereka hingga terbawah dalam klaim pernikahan upacara adat mas kawin.
Dalam pernikahan suku Wamesa, menimbulkan adanya nilai toletansi seperti, saling menghargai, kerja sama, hidup saling bergantungan, saling membantu dan toleransi beragama. Dengan adanya pernikahan mas kawin suku Wamesa, dimana nilai toleransi seperti menghargai terjadi dalam proses upacara ritual mas kawin yang sedang berlangsung dan diikuti juga oleh berbagai suku lain, seperti sebagian suku-suku di papua dan masyarakat pendatang yang tinggal di daerah itu seperti batak, Jawa, mereka merupakan pendatang yang berpatisipasi juga dalam upacara proses pernikahan yang di lakukan oleh suku Wamesa. Hal ini dilihat bahwa toleransi mewujudkan keharmonisan yang dapat diraih dengan konsep waktu dan ruang, yang kemudian dapat menghindarkan dari perpecahan toleransi yang sumbernya dari agama, suku, ras bahasa dan budaya. Keadaan ini membuat interaksi atara berbagai suku dalam upacara adat suku Wamesa di pernikahan terjadi secara langsung dan juga nilai yang diselipkan dari ri tual adat pernikahan suku Wamesa dapat merubah sikap atau cara pandang seseorang dalam menerima perbedaan sehingga meminimalisir intolent.
Dengan adanya beberapa suku yang berpartisipasi dalam ritual perkawinan suku Wamesa tersebut dimana hal ini dilakukan rutin dan membuat ketertarikan terhadap suku batak dan jawa sebagai pendatang yang berdagang di daerah Wondama.Halyang menarik adalah bagaimana budaya dan bahasa suku Wamesa dapat di kuasai dan mengerti juga oleh orang-orang dari etnis batakdan etnis jawa sebagai media yang membangun rasa kebersamaan melalui komunikasih dalam suatu ruang lingkup budaya dari suku mayoritas. Istilah barter tidak hilang begitu saja, dengan adanya barter terbawah hingga etnis-etnis yang berpartisipasi dapat mengetahui dan belajar bagaimana barter mengantar mereka agar hidup di lingkungan yang toleransinya tinggi yang menyebabkan adanya demokrasi melaui suku wamesa tersebut bagi masyarakat yang berbeda namun hidup secara berdampingan.
Dalam konteks ritual suku Wamesa, dimana kesenian dan tarian yang dilakukan dalam pernikahan adat merupakan dua hal yang menunjang nilai-nilai toleransi dalam hal ini, di ritual pernikahan adat suku Wamesa dengan berbagai keunikan dari kesenian tesebut yang dapat di pahami bahwa tarian tradisional yang diiringi oleh musik tradisional dengan beberapa lagu dalam bahasa Wamesa tentang perdamiaan dapat menarik orang suku-suku lain untuk berpartisipasi sehingga membangun rasa saling menghargai yang tinggi bagi sesama. Hal ini memiliki nilai tersendiri dimana menawarkan adaanya rasa kesatuan dan keberadaan suku serta latar belakang yang berbeda dari suku Wamesa membuat mereka yakin bahwa budaya mereka merupakan media dalam meningkatkan rasa toleransi. Dapat dilihat nilai toleransi yang tertanam pada suku Wamesa adalah kesatuan dan kekompakan sehingga dapat menjadi tali pemersatu bagi masyarakat sukuWamesa maupun masyarakat dari suku-suku lain.
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa manusia hidup karena adanya kebudayaan. Sementara itu, kebudayaan akan terus hidup dan berkembang serta tertaman pada manusia yang mau melestarikan kebudayaan dan bukan kepada manusia yang hendak merusaknya. Dengan demikian manusia dengan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupan tidak mungkin individu tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan kadang kala disadari atau tidak disadari manusia merusak kebudayaannya.
Manusia membutuhkan budaya agar dapat menjaga keutuhan kehidupan yang saling berdampingan, dengan adanya budaya yang memiliki nilai-nilai tersendiri seperti pada suku Wamesa ketika melaksanakan ritual pernikahan. Beranjak dari budaya suku Wamesa maka dapat menyebarkan hal dan nilai-nilai positif bagi suku-suku lain ketika menghadiri acara ritual pernikahan tersebut. Kemudain orang-orang yang menghadiri acara ritual pernikahan dapat melihat bahwa adanya interasi toleransi yang terjadi ketika proses ritual berlangsung dan dari hal tersebut akan menjadi kebiasaan karena tidak hanya berlangsung satu kali sehingga akan menjadi satu kebiasaan yang mendukung seseorang dalam berinteraksi. Untuk itu, nilai-nilai tersebut akan dapat membantu orang dalam hidup berampingan dan jika ada orang yang bermigigrasi ke suatu daerah yang baru maka mereka dapat mengimplementasikan kebiasaan dan nilai-nilai positif dar suku Wamesa kepada lingkungan baru dimana mereka tinggal dan akan menyebarkan kehidupan toleransi bagi lingkuang yang ditempati. Hal tersebut dapat membantu untuk meminimalisir keadaan Indonesia sekarang yang sangat tida intoleran dengan berbagai macam isu yang terjadi.
[1]. Prbolaksono, Arfianto, dkk. (Juni 2017). Indonesia.”Update Indonesia”. Jakarta: The Institute Indonesia.
[2]. Anonim. (n.d). Konsep Upacara Adat. [pdf]. http://digilib.unila.ac.id/16136/123/BAB%20II.pdf diakses 12 Desember 2017 jam 07:00
[3]. Anonim. (n.d). Pengertian Ritual. [pdf]. http://digilib.uinsby.ac.id/918/5/Bab%202.pdf diakses tanggal 12 Desember 2017 jam 5:44
[4]. Anonim. (n.d). Ritual: Defenisi dan Kterkaitan Masyakarakat. [pdf]. http://eprints.uny.ac.id/18561/4/BAB%20II%2010413244015.pdf diakses pada tanggal 12 Desember 2017 jam :6:4
[5]. Anonim. (n.d). The Cultural Iceberg. [pdf] http://www.united-church.ca/sites/default/files/resources/cultural-iceberg.pdf di akses 12 Desember 2017 Jam:12;00
Kommentare