top of page

Ikhtisar Rasisme Sebagai Label Kekuatan Nasionalisme Papua

  • Septer Ramar
  • Jun 4, 2020
  • 8 min read

Anti Rasisme

Membaca persoalan rasisme dari kaca mata Papua sebagai pemicu kemampuan narasi yang mendorong nasionalisme Papua bangkit dan kuat. Nasionalisme Papua tidak pernah luntur dalam menyuarakan pendapat karena landasan motivasi dari ras kulit hitam yang juga berjuang melawan rasisme dan ketidakadilan di beberapa Negara. Untuk itu, seperti apa melihat label rasisme sebagai kekuatan kebangkitan nasionalisme Papua yang dipicu oleh sejarah perjuaangan Papua. Pada dasarnya luka yang diciptakan dari persoalan rasisme membekas pada lintas generasi Papua.

Isu rasisme di berbagai negara sangat booming dan hidup bersamaan dengan perkembangan teknologi dan perdagangan suatu negara sehingga mengakibatkan meningkatnya kemajemukan dalam suatu negara tersebut. Ketertarikan akan kehidupan yang lebih baik dengan perkembangan perdagangan yang lebih baik di tawarkan kepada negara mendatangkan masyarakat dari berbagai kelompok ras. Untuk itu, orang Papua pada dasarnya memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri dan berkonstribusi di berbagai aspek kehidupan dalam implementasi ide pada ruang secara kolektif. Namun, orang Papua selalu mendapatkan perlakuan tidak adil yang terjadi pada setiap individu dan kehidupan sosial, sehingga orang Papua mendistribusikan upaya untuk menyikapi persoalan tersebut.

Dalam hal ini, rasisme merupakan masalah rasial yang mengalir dalam kehidupan masyarakat multikultur di berbagai belahan dunia. Rasisme, diskriminasi rasial, prejudice dan berbagai sikap intoleran masih subur. Pemahaman tentang rasisme dipahami sebagai suatu penolakan golongan masyarakat yang berdasarkan ras lain. Rasialisme timbul akibat dari dalam masyarakat yang mempunyai superioritas dan minoritas. Dimana dalam masyarakat minoritas terdapat kelainan biologis pada umumnya, Sehingga dari situ timbul sebuah paham yang menolak suatu golongan masyarakat berdasarkan rasnya, dan sebagai akibatnya timbul supremasi kulit putih sebagai superior yang merugikan ras berwarna (kulit hitam).

Kasus rasisme yang terjadi di Amerika adalah kepahitan bagi ras kulit hitam sehingga aksi protes adalah ekpresi ketidakadilan dari ras kulit hitam. Pada tanggal 25 mei publik geger dengan aksi yang tidak manusiawi oleh 4 polisi Amerika dan membuat banyak respon di berbagai negara. Kejadian rasisme yang masih subur di negara Amerika adalah bukti dari kemajemukan yang membuat intolerasi sangat pesat. Kejadian rasisme yang terjadi di Amerika membuat luka yang membekas pada ras kulit hitam. Hal ini sangat dilematis yang di rasahkan oleh ras kulit hitam. Ketika berkonstribusi pada setiap lini ada potensi yang terjadi seperti diskriminasi, kekerasan struktural, kekerasan budaya, kekerasan secara langsung dan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada persoalan rasisme menciptakan sikap ketidakadilan yang di alami ras kulit hitam, dan aparatur tidak merepresentasikan fungsi yang baik dalam menyikapi kasus rasisme terhadap George Floyd. Dalam memahami kasus tersebut, aparat yang berkulit putih adalah perwakilan dari institusi keamanan (Polisi) yang kemudian punya tugas dan kewenangan namun, disisi lain mengabaikan hak kebebasan sehingga secara otomatis perilaku institusi (polisi) atau negara menekan ras kulit hitam secara tidak adil. Bukan soal Amerika yang mengalami kasus rasisme, Papua selalu eksis dan aktif untuk menuntut keadilan.

Menyikapi rasisme dengan aksi massa yang di lakukan orang kulit hitam dalam hal ini, misalnya, (orang Papua) terjadi di Indonesia merupakan tindakan protes menuntut keadilan, kesejahteraan terhadap hak-hak sipil dari orang Papua. Menurut (Tan Malaka.2016;16) Masyarakat selalu mengalokasikan energi sebagai perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang merusak atau memperbaiki kehidupannya.

Label Rasisme Sebagai kebangkitan Nasionalisme Papua

Papua terdiri dari masyarakat ras kulit hitam yang mendiami wilayah Papua di dataran gunung dan pesisir pantai. Papua dan Papua barat merupakan bagian paling timur dari Indonesia. Populasi masyarakat adat di wilayah ini cukup berbeda dari wilayah lain di Indonesia, dan mencakup lebih dari 300 kelompok etno-bahasa yang berbeda. Keunikan suku-suku dan budaya Papua merupakan realitas historis dan sekaligus realitas sosio-kultural. Wilayah Papua yang di kenal dengan masyarakat yang kulit hitam dan memiliki komoditi yang melimpah. Kekayaan yang melebihi populasi penduduk Papua selalu menjadi incar pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengedepankan bisnis dari sumber daya alam Papua.

Tidaklah heran dengan kekayaan alam Papua yang menjadikan orang Papua berjuang mendapatkan hak politiknya. Papua memiliki sumber daya alam yang kaya, dimana berdasarkan laporan Pemerintah Daerah, sektor pertambangannya sudah mampu memberikan konstribusi 50% perekonomian Papua dengan adanya berupa tembanga, emas, minyak dan gas. Di bidang pertambangan, Papua memiliki potensi 2,5 milliar ton bantuan biji emas dan tembaga semua terdapat di wilayah konsesi Freeport. Di samping itu masih banyak beberapa potensi lain seperti batu bara berjumblah 6,3 ton, batu gamping di atas area seluas 190.000 ha, pasir kuasa seluas 75 ha dengan potensi hasil 21,5 juta ton, lempung sebanyak 1,2 juta ton, mamer sebanyak 350 juta ton, granit sebanyak 125 juta ton dan hasil tambang lainya seperti pasir besi, nikel dan krom. Pada kenyataannya Papua menjadi pusat eksploitasi yang diikuti dengan penindasan dan perampasan hak-hak sipil orang Papua.

Papua memiliki sejarah konflik yang berkepanjangan dan membekas sampai menciptakan luka lintas generasi. Pada umumnya berpusat pada perselisihan tentang hak Indonesia untuk kedaulatan dan bentrokan tentang eksploitasi dari banyaknya sumber daya alam yang tidak merata yang di peroleh dari usaha tersebut. Bangsa Papua menganggap bahwa mereka adalah bagian dari korban ketidakadilan historis, dimana kemerdekaan yang dijanjikan kepada Papua oleh penjajahan Belanda telah dirampas. Sementara bagian lain dari Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1949 setelah terjadinya perang kemerdekaan, Belanda tetap mempertahankan kendali Papua sampai 1960-an. Pada akhir-akhir tahun Belanda, pejabat kolonial di wilayah tersebut mempersiapkan Papua untuk memperoleh kemerdekaannya dengan mendorong nasionalisme rakyat Papua dengan mengijinkan pembentukan partai politik dan institusi negara. Integrasi Papua ke Indonesia adalah kisah kelam yang dianggab tidak adil sehingga mendorong eksistensi masyarakat, suku-suku mengekpresikan diri membentuk nasionalisme Papua sebagai perlawanan untuk berjuang dalam melawan rasisme dan ketidakadilan terhadap orang Papua.

Pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di papua sudah sangat lama, tahun 2010 dan 2011. Laporan penting dimana penyiksaan terhadap orang Papua telah di publikasikan di dunia luas. Demonstrasi dan aksi damai selama tahun 2010 hingga saat ini, Faith-based Network on West Papua (FBN) mencatat kenaikan demonstrasi, protes dan ujuk rasa damai yang di selenggarakan oleh penduduk asli Papua untuk mengekspresikan kekuatiran mereka tentang situasi sosial, ekonomi, lingkungan dan politik yang mempengaruhi tanah air mereka. Protes ini terutama berfokus pada kegagalan UU No. 21/2001 tentang otonomi khusus Papua. Tanpa menyampingkan tujuan undang-undang tesebut marginalisasi penduduk asli Papua telah menjadi jauh lebih buruk dari sebelumnya dan menimbulkan kekecewaan yang besar dari sebagian masyarakat lokal terhadap negara. Kelompok hak asasi manusia di Papua meragukan ketulusan komitmen pemerintah Indonesia dalam hak asasi manusia. Misalnya, Aliansi jurnalis independent (AJI) mengkritik larangan virtual kepada media asing beroperasi di Papua. Situasi saat ini, Indonesia membatasi media asing, organisasi pengamat internasional. Jika melihat dari sikap keraguan pemerintah Indonesia ada hal yang dapat di sembunyikan.

Dalam beberapa tahun sebelumnya, Papua kembali mengalami sakit hati yang mendalam dalam konteks perlakuan rasisme di Surabaya dan Malang tahun 2019 terhadap pelajar mahasiswa Papua sehingga memicu gerakan sosial, aromah tututan Papua merdeka dari berbagai demonstrasi dan kelompok nasionalisme Papua. Insiden rasisme terhadap orang Papua tahun 2019 di Surabaya dan Malang merupakan rasismse yang dilakukan oleh kelompok dalam menunjukan superior untuk memberikan label baru kepada Orang Papua. Label baru seperti perkataan “Monyet” yang sangat seksi dan akan selalu eksis menyuarakan pendapat. Persoalan tersebut merupakan ekspresi perbedaan yang tertanam pada benak dan kurangnya kepemahaman orang tentang latar belakang Papua. Hal ini merupakan tindakan rasisme yang menjatuhkan harkat dan martabat orang Papua. Orang Papua selalu mendapatkan perlakuan tidak adil di negara Indonesia yang majemuk. Sikap pendekatan pemerintah Indonesia yang tidak komprehensip dalam menyikapi demonstrasi menyebabkan banyak aktivis menjadi tahanan politik dengan landasan kasus makar. Ruang berekspresi orang Papua tidak diberikan dan mulut di bungkam dengan pendekatan persuasif, nyawa orang Papua hilang dengan tindakan militer.

Dalam melihat persoalan rasisme terhadap orang Papua, rasialisme berdasarkan superioritas antar ras Papua dapat terjadi secara individu, institusi maupun budaya. Rasisme individu lebih di pahami kepada; perilaku, sikap sosialisasi dan minat pribadi yang menyimpang. Dapat dipahami bahwa diskriminasi ras dan prasangka ras. Istilah ini mencakup perilaku pembedaan berdasarkan ras. Diskriminasi ras sangat jelas dalam pemisahan tempat tinggal warga ras tertentu. Aspek lain adalah prasangka ras merupakan akar umbi rasisme. Dimana pandangan yang buruk terhadap individu atau kelompok manusia lain dengan hanya menunjuk kepada ciri-ciri tertentu seperti ras, agama, pekerjaan dan kelas. Diskriminasi dan prasangka saling menguatkan. Prasangka mewujudkan suatu rasionalisasi bagi diskriminasi, sedangkan diskriminasi berulang kali membawah ancaman (Adi,1999;97).

Kebangkitan nasionalisme Papua selalu di bangun dengan narasi kesadaran bahwa perbedaan tidak bisa bersatu, tetapi dalam perbedaan kita bersatu. Orang gunung tidak bisa di paksakan jadi orang pantai. Orang gunung tetap orang gunung dan orang pantai tetap orang pantai. Tetapi sama-sama adalah orang Papua, bangsa Papua. Karena penderitaan di gunung di rasahkan oleh orang pantai dan penderitaan yang di pantai di rasahkan oleh orang Papua di gunung. “Kitorang senasip, satu penderitaan". Hal ini jadi dasar kebangkitan kita karena senasip, penderitaan, sepenanggung maka kemerdekaan bisa di dapatkan (Filep Karma, 2014:27). Keberadaan masyarakat Papua dan kekayaan alam tidak setara dengan tingkat pendidikan. Orang Papua selalu hidup berdampingan dengan kekayaan alam tetapi realitanya kemiskinan menjadi bagian dalam kehidupan orang Papua. Realita hidup mendorong kesadaran nasionalisme Papua untuk berdampingan dan tidak berharap kepada pemerintah. Orang Papua dalam hal ini, membutuhkan praktisi demokrasi yang sesungguhnya untuk menjaga kedamaian antara suku-suku di Papua.

Realitas Papua dengan masalah yang kompleks, nasionalisme Papua dipahami dalam kerangka ideologi (Papuan nationalism) maka di dalamnya terkandung aspek; cognitive; goal/value orientation; dan strategy. Dalam peran nasionalisme Papua terkandung tiga aspek tersebut, dimana cognitive; mengandaikan perlunya pengetahuan atau pemahaman akan situasi konkret sosial, ekonomi politik dan budaya bangsanya. Jadi nasionalisme adalah cerminan abstrak dari keadaan kehidupan konkret suatu bangsa. Dalam hal ini, persoalan rasisme dan berbagai masalah kemanusian di Papua menyadarkan orang Papua pada tingkat transisi kesadaran yang jauh lebih kuat untuk melawan ketidakadilan dan merebut hak sipil, politik dan kekuasaan dari kolonial terhadap Papua. Para intelektual orang Papua menjadi penting dan berkonstribusi dalam pembentukan semangat nasionalisme Papua. Tidak perlu takut dan mulut bungkam terhadap persoalan Papua. Masa depan Papua ada pada orang Papua sendiri dalam merangkul untuk membentuk kehidupan yang lebih baik bagi generasi seluru anak bangsa Papua. Nasionalisme Papua adalah nasionalisme yang cerdas (anak-anak Papua) yang di sinari oleh kebijaksanaan, pengertian, pengetahuan dan kesadaran sejarah.

Aspek goal; dipahami sebagai akan adanya cita-cita, tujuan ataupun harapan ideal bersama di masa datang yang ingin diwujudkan atau diperjuangkan di dalam masyarakat. Cita-cita itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial, ekonomi, politik, ideologi, budaya yang kemudian disepakati bersama. Kondisi perjuangan Papua merdeka menjadi cita-cita besar dari orang Papua. Upaya demonstrasi, dan membentuk organisasia Papua merdeka seperti; United Liberation Movement of West Papua (ULMWP), TPM-OPM dan beberapa organisasi lain memiliki satu tujuan dan ideologi untuk berjuang dalam mencapai kemerdekaan Papua.

Dalam menjalankan aspek strategic; menuntut adanya kiat perjuangan kaum nasionalis dalam perjuangan mereka untuk mewujudkan cita-cita bersama, dapat berupa perjuangan fisik atau diplomasi, moril atau spiritual dapat bersifat moderat atau radikal, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terang dan lain-lain. Perjuangan Papua selalu mencari peluang dari setiap momentum. Isu Papua selalu hidup, perjuangan Papua dengan motif kemanusian. Berjalan dengan strategi sesuai kondisi yang terjadi saat ini. Masa transisi untuk mencapai revolusi di ikuti dengan berjuang secara fisik dan diplomatis untuk melawan pemerintah Indonesia. Hal ini akan terjadi sampai tujuan bangsa Papua tercapai atau “kemerdekaan Papua Barat tercapai” dan nasionalisme Papua bukan lagi untuk melawan pemerintah Indonesia tetapi mengisi kemerdekaan dengan membasmi korupsi, menghilangkan kebodohan dan kemiskinan. Bangsa Papua akan hidup mewujudkan demokrasi, membela kebenaran dan kejujuran secara efektif solidaritas, unsur senasip dan unsur kebersamaan dalam segalah situasi hingga kuat dalam rumpun kepapuaan dirumah Malanesia.

[1]. Nasionalisme, Democrat- civily society diakses pada halaman; https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20Historia%20Vitae/vol23no2oktober2009/NASIONALISME%20sutarjo%20adisusilo.pdf diakses pada Jam: 6:06 Wib.

[2]. Human Right Watch (Volume 19, No. 10©. Tersembunyi dari Dunia Luar Endemi Pelanggaran dan Impunitas di Daratan Tinggi Tengah Papua 2007. (hlm. 10-12).

[3]. Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2015. Diakses pada halaman; https://www.komnasham.go.id/files/20151102-jurnal-ham-edisi-khusus-papua-$MSS.pdf diakses pada Jam 11:13 Wib.

[4]. Merdeka Papua : Integration, Independence, Or Something Else. Agustus 2008. Diakses pada halaman ; http://papuaweb.org/dlib/s123/stiefvater/_ma.pdf diakses pada Jam: 10:12 Wib.

[5]. Franciscans International at voice of Unite Nations. Papua Land of Peace. Asian Human Right Commisioner (Hak Asasi Manusia 2010/2011).

[6]. Karma Filep, 2014 'Seakan-akan Kitorang Setengah Binatang Rasialisme di Indonesia'. Hal 25-30

[7]. JenaruEventinus, Trihayanto Basil, Koten Bernard, 2016. 'Papua di Ambang Kehancuran Beragam Peristiwa dan Hak-Hak Asasi Manusia 2016. Hal 1-8.


 
 
 

Comments


4C513D8C-C30D-4FD1-A908-FB550CF02ADD.jpeg

Join our mailing list

  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Flickr Icon
  • Black Instagram Icon
bottom of page