Entitas Politik: Politik Identitas, Representasi Politik dalam Konflik Papua
- Septer Ramar
- Jun 14, 2020
- 5 min read

Melihat persoalan Papua berangkat dari cerita tentang ketidakberdayaan-keterbelakangan penduduk asli dan persoalan kemanusian yang sangat serius dan prihatin. Kontroversial yang lahir dari perbedaan perspektif, kebijakan dalam mencapai kekuasaan politik merupakan tujuan represif dari aktor-aktor politik. Aneka konflik kepentingan dari masa kelam Papua telah di warnai dengan romansa politik yang berasal dari konfederasi secara substansi dengan berbagai konsep, strategi dan ideologi. Dalam penulisan ini di fokuskan pada dua hal. Pertama, mendiskripsikan konflik Papua yang terabaikan dalam bingkai ke-Papuaan sebagai eksistensi dari masalah yang terus menimbulkan perlawanan. Kedua, entitas politik identitas sebagai representasi politik yang menguat di ranah lokal khusunya dalam konflik Papua.
Politik identitas dalam konflik Papua adalah senjata istimewah dan mendapatkan tempat sebagai modal perlawanan. Politik identitas juga menjadi pola untuk mendorong praktis politik identitas yang eksplisit untuk menyuarakan keadilan. Entitas politik identitas Papua sebagai manuver kebangkitan dan peran dalam menyuarakan persoalan konflik di Papua. Menurut (Gressida Heyes, 2007) politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitas politik. Diperkuat lagi oleh Lukmantoro; politik identitas adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok dengan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, jender, atau keagamaan.[1] Hal yang kemudian menarik adalah identitas Papua yang terbentuk secara parsial maupun secara interaksial. Dalam bingkai konflik, identitas Papua terbentuk dan melahirkan perubahan sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya. Politik identitas Papua juga secara langsung atau tersamar melahirkan perubahan sosial. Politik identitas Papua juga sebagai alat manipulasi-alat untuk menggelang politik- guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politik Papua.
Negara sangat berperan dalam pembentukan politik identitas Papua yang membawah perubahan secara pelabelan di masa orde baru disebabkan dengan landasan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai elit yang berkuasa. Menurut Henk (2007), kebijakan tersebut untuk melemahkan politik entnisitas di tanah air. Pertama, tidak ada daerah yang asli, semua daerah terbuka sebagai daerah transmigrasi dan imigrasi supaya semua komunitas tercabut dari aktivitas sosio-kultural dan politiknya. Kedua, menghindar terbentuknya kelas karena pemerintahan orde baru memandang sebagai “SARA” dan ini hanya bisa di lakukan oleh pemerintah. Ketiga, modernisasi di jalankan supaya pengaruh agama dan etnis merosot. Keempat, negara mengatur supaya tidak adayang tumpang tindih antara suku dan agama.[2] Kebijakan tersebut pada masa orde baru selalu menyampingkan dan mencabut hak-hak politik dari rakyat Papua secara birokrasi, ekonomi, sosial-budaya bahkan sumber daya alam yang menjadi sumber eksploitasi negara. Nilai-nilai kesukuan yang membentuk entitas politik Papua tidak ada harganya di mata Indonesia.
Mengenal dinamika konflik Papua yang tidak pernah terselesaikan pada masa orde baru sampai era pemerintahan Jokowi sebagai presiden ke-7 yang memenangkan pemiluh tahun 2014. Pada masa orde baru dimana pendekatan represif yang memusatkan Papua sebagai wilayah operasi militer oleh negara, hal ini kemudian dipandang oleh rakyat Papua sebagai manifestasi kepentingan politik pusat dengan mengedepankan sifat negara yang represif untuk membendung isu Papua. Bagi masyarakat Papua Indonesia sulit dalam menumbuhkan praktisi demokrasi. Menurut The Indonesian Institution of Sciences (LIPI) Jakarta 2008, memetakan konflik Papua ke dalam tiga persoalan; Pertama, marjinalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang Papua pada tahun 1970. Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat Papua. Ketiga, Papua memiliki masalah kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta.[3]
Eksistensi konflik Papua yang kompleks menghadirkan presepsi rakyat Papua terhadap Indonesia (colonial) sebagai negara yang masih gagal dalam membentuk nation character building. Karena pada dasarnya secara sosio-kultural Papua sangat berbeda dengan budaya lain di Indonesia. Sehingga kedekatan empiris membekukan pikiran dan kepercayaan rakyat Papua untuk eksis dalam gerakan revolusioner. Gerakan revolusioner mengedepankan identitas sebagai instrument dalam mencapai tujuan politik. Di sisi lain, Papua menggunakan identitas kesukuan yang dipersatukan dalam komitmen nasionalisme Papua. Hal yang kemudian menjadi perhatian Indonesia antara identitas Papua dan potensi wilayah, yang menjadi fokus utama adalah potensi wilayah. Papua terkenal di Indonesia dengan kekayaan alam, entitas identitas Papua bukan sebagai tolak ukur keuntungan, kepemahaman, dan bagian dari keragaman menurut versi Indonesia karena berbagai masalah rasialisme yang subur. Entitas politik dari kesukuan memiliki ideologi dan ide tersendiri yang tidak di miliki suku lain. Untuk itu, mengapa identitas Papua selalu tampil sebagai perlawanan.
Menurut Chauvel (2005) kepapuaan merupakan identitas politik yang di bentuk oleh pengalaman pada masa kolonial dan dikonstruksikan sebagai anti-tesis dari ke-indonesian. Menurut Chauvel, nasionalisme Papua di bentuk oleh empat faktor utama sebagai berikut. Pertama, sebagian Papua berbagai kekecewaan sejarah dimana tanah Papua diintegrasikan dengan Indonesia. Kedua, elit Papua merasa persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia yang telah mendominasi pemerintah sejak periode belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi di Papua melanjudkan sense of difference (perasahan berbeda). Keempat, banyak pandangan lebih besar dari luar bahwa orang Papua di marjinalisasi.[4] Tidak terlepas dari potensi kesukuan yang membentuk politik identitas Papua, ikatakan kesukuan mendapat peranan penting, menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.
Dinamika konflik Papua dan identitas Papua selalu hidup bersamaan. Sentiment politik dalam fenomena konflik Papua secara otomatis membuka peluang partisipasi identitas Politik Papua. Secara tidak langsung gerakan sosial (identitas) mengangkat persolan Papua sebagai aliran gerakan revolusioner. Letak partisipasi dari identitas politik dalam menyuarakan persoalan Papua ada pada peran kelompok oposisi Indonesia. Kelompok yang sebagai representasi politik dalam dibentuk dengan ide dan ideologi dengan tujuan menyuarakan persoalan Papua. Ada beberapa kelompok yang berdiri atas identitas Papua dan Identitas nasional tetapi bertopeng. Identitas Papua adalah mereka yang terlibat dalam sistem politik perjuangan Papua (kelompok nasionalism Papua) secara domestic dan internasional untuk mendapatkan tujuan politik. Dalam perjuangan penyelesian persoalan Papua terdiri dari dua level-strategy; domestic-internasional. Domestik dimana partisipasi aktivis; Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), organisasi kemahasiswaan, organisasi Pemuda, Lawyers di Indonesia dari setiap LBH dan kontras. Perjuangan internasional; berjuang sebagai diplomat internasional, United Liberation Movement West Papua (ULWP), International Lawyers for West Papua dan International Parliamentarians for West Papua. Kelompok identitas nasional (bertopeng) terlibatan perjuangan juga melalui partisipasi dalam birokrasi; ASN, legislatif, yudikatif dan pegawai swasta dari negara Indonesia.
Pastisipasi politik identitas melahirkan pengelompokan (non-government organitation) NGO dalam perjuangan Papua melewati persoalan konflik yang masih subur. Representasi politik sebagai dampak partisipasi politik untuk menyuarakan pesoalan Papua, namun hal yang menjadi serius pada level-internasional untuk para pejuang isu Papua adalah optimalisasi efektivitas diplomasi Papua. Hal ini sangat penting dan menjadi motivasi untuk update strategy. Kahadiran (non-government organitation) NGO memperkuat dan mempermudah diplomasi, namun bila di letakan pada konteks/ kasus seperti Papua keberadaan (non-government organitation) NGO menjadi preduksi wewenang negara; atau lebih ekstrim mengintervensi kedaulatan negara. Intervensi yang di maksud seperti dieksekusi seringkali pada perumusan kebijakan. Pilar-pilar ekonomi seperti; property, korporat, perkebunan kelapasawit, korporat wisata dan rekreasi, dan sebagian yang memiliki posisi tawar untuk menggiring aktor pembuat kebijakan yang akan dibuat, hal ini yang terjadi di Indonesia.[5] Sebagai penggiring aktor dalam dinamika politik perjuangan, Papua membutuhkan momentum yang baik dalam mengoptimalkan opportunity dan effective strategi-diplomasi. Perjuangan pada level- internasional selalu mencari posisi dan peluang. Negara Indonesia adalah negara berdaulat yang di akui oleh PBB dan masih memiliki wewenang atas setiap persoalan Papua.
[1]. Nasrudin Juhana dan Nurdin Ali. Hanifiya : Jurnal Studi Agama-Agama. Politik Identitas dan Representasi Politik. Hal: 35-38
[2]. Haboddin Muhtar. Jurnal Studi Pemerintahan. Vol.3 No. 1 2012 (Menguatnya Politik Identitas di Rana Lokal.) Hal: 119-123
[3]. LIPI Team; Widjojo. S Muridam, Elisabeth Adriana, Amirudin, Pamungkas Chayo dan Dewi Rosita. The Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Jakarta, 2008. Hal: 5-10
[4]. Widjojo, Elisabeth, Rahab, Pamungkas dan Dewi, 2013, Papua Road Map, Yayasan Obor Indonesia
[5]. Berridge, G.R. 2010.Diplomacy: Theory and Practice. Leicester: United Kingdom dan H.A, Ikedinma. 2014. History and Practice of Diplomacy. Lagos: National Open University of Nigeria
Comments